Kalau tidak disiapkan kebijakan moneter dan ekonomi yang stratejik maka dikhawatirkan dapat menimbulkan krisis moneter dan ekonomi jilid kedua. Seperti diketahui Indonesia mengalami krisis moneter dan ekonomi yang parah pada tahun 1997-1998. Ketika itu nilai dolar US yang menguat belipat di sisi yang satu dan sisi lain fundamental ekonomi yang rapuh mengakibatkan dunia usaha banyak yang kolaps. Akibat lanjutannya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Akankah hal itu terjadi lagi sekarang? Hal itu sangat bergantung pada derajad pengaruh dari kebijakan bale out AS. Kalau minimal dalam sebulan ini kebijakan itu mampu meredam krisis multidimensi di AS maka diharapkan dapat memperkecil efek negatif terhadap kondisi moneter dan ekonomi global. Sementara di Indonesia, kebijakan uang ketat dan menaikkan BI rate hingga menjadi 9.25% mudah-mudahan dapat menjadi remedi jangka pendek. Selain itu kegiatan ekspor tetap harus digalakkan dengan pemberian insentif fiskal misalnya. Dengan demikian target pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sebesar 6.3% bisa terpenuhi.
Di tingkat mikro, perusahaan harus mampu meredam keresahan di kalangan karyawannya yang menyangkut isu PHK. Perusahaan harus memiliki strategi SDM yang efektif dan efisien untuk menghadapi efek domino dari krisis moneter dunia dan domestik. Untuk itu strategi peningkatan produktifitas dan mutu kerja harus dapat diterapkan. Program supervisi terhadap proses produk barang dan jasa semakin diperketat. Pendekatan mutu kehidupan kerja di dalam kelompok-kelompok kerja sangat efektif untuk meningkatkan produktifitas kerja karyawan. Selain itu anjuran penghematan dalam penggunaan sumberdaya perusahaan, misalnya listerik, BBM, dan air, perlu digalakkan. Disinilah dituntut peran manajer yang mampu mendorong suasana kerja yang nyaman. Koordinasi intensif dari manajer sangatlah dibutuhkan manakala perusahaan sudah memiliki target-target tertentu untuk ekspor, misalnya. Untuk itu diharapkan manajemen kompensasi berupa insentif bonus juga dapat menolong terwujudnya kestabilan produktifitas kerja yang standar
Kondisi krisis finansial global kali ini memang meletakkan perusahaan pada posisi yang lebih sulit, seiring dengan tuntutan untuk tetap bertahan dalam persaingan di industri namun level penjualan terus mengalami pelemahan. Survei KPMG dan Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) terhadap 892 perusahaan di Inggris memberikan gambaran mengenai bagaimana perusahaan menangani kondisi tersebut.
Pemangkasan Biaya dan Benefit
Salah satu hal yang memang wajar terjadi di kondisi perekonomian yang serba sulit seperti ini adalah pemangkasan berbagai biaya dan benefit. Survei ini menemukan bahwa sekitar 38% dari perusahaan Inggris mengurangi perjalanan bisnisnya. 69% diantaranya sudah mengurangi anggaran perjalanan bisnis, sementara 60% menekan perjalanan ke luar negeri.
Penggunaan teknologi seperti teleconference atau videoconference juga lebih marak, tepatnya yakni 62%. Hal ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya aktivitas telecommuting demi melakukan efisiensi di kantor. Sekitar 43% juga sudah meningkatkan penggunaan transportasi publik, dan lebih dari separuh (55%) mengurangi entertainment untuk klien. 20% juga mengurangi ketersediaan minuman atau makanan gratis pada saat rapat.
Pekerjaan Lebih Menumpuk
Nyaris separuh atau 48% dari perusahaan yang disurvei mengaku bahwa workload (beban pekerjaan) bagi masing-masing staf semakin meningkat sebagai akibat dari krisis kredit. Sehingga, nyaris persentase yang sama (46%) mengaku level stress mereka juga meningkat. Workload yang meningkat ini mungkin merupakan dampak buruk dari PHK, atau pekerjaan yang bertambah karena memang banyak masalah yang harus diselesaikan di masa krisis ini.
Yang baiknya, perusahaan melihat sedikit dampak krisis kredit terhadap absensi, level engagement karyawan dan produktivitas. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh mayoritas perusahaan yang mengaku meningkatkan komunikasinya dengan karyawan.
Dari hasil survei ini dapat ditarik beberapa kesimpulan:
• Pemangkasan biaya dan benefit merupakan hal penting yang perlu dilakukan organisasi, terutama memangkas biaya perjalanan bisnis dan benefit yang tidak terlalu penting.
• Untuk melakukan efisiensi, maka perusahaan dapat melakukan telecommuting, dan memanfaatkan teknologi untuk mendukung pekerjaan. Galakkan pula pemakaian transportasi publik demi melakukan penghematan.
• Peran komunikasi dan kepemimpinan menjadi semakin penting. Pemimpin perlu mengkomunikasikan mengenai masalah yang dihadapi perusahaan, dan merumuskan langkah-langkah yang dijalankan secara bersama-sama. Pemimpin perlu meyakinkan karyawan bahwa untuk bertahan dalam masa krisis, maka akan membutuhkan kerja keras dari para karyawan.
• Interaksi yang dilakukan secara reguler akan menumbuhkan jalinan hubungan yang baik dengan karyawan, sehingga pemimpin bisa segera menangani jika terdapat masalah seperti demotivasi, stress, dan sebagainya.
Terimakasih Atas Kunjungannya
Judul: Dampak Krisis Global Terhadap Manajemen Sumber Daya Manusia
Ditulis oleh Belajar Online Shop
Rating Blog 5 dari 5
Item Reviewed: Dampak Krisis Global Terhadap Manajemen Sumber Daya Manusia
Semoga artikel Dampak Krisis Global Terhadap Manajemen Sumber Daya Manusia ini bermanfaat bagi saudara. Silahkan membaca artikel kami yang lain.
Judul: Dampak Krisis Global Terhadap Manajemen Sumber Daya Manusia
Ditulis oleh Belajar Online Shop
Rating Blog 5 dari 5
Item Reviewed: Dampak Krisis Global Terhadap Manajemen Sumber Daya Manusia
Semoga artikel Dampak Krisis Global Terhadap Manajemen Sumber Daya Manusia ini bermanfaat bagi saudara. Silahkan membaca artikel kami yang lain.
2 komentar:
mantab sob, lanjutkan tapi jagan sampai lupa mampir balik and give some comment
oke, makasih ya..
Post a Comment
Komentar anda sangat berguna untuk perkembangan blog anda dan blog ini. Anda mendapat backlink GRAATIS , Silahkan Berkomentar...