Thursday, May 26, 2011

Produktivitas dan Skala Ekonomi Bank Umum Syariah Indonesia



Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja internal Bank umum Syariah dalam mengalokasikan sumber daya yang efisien dengan menggunakan pendekatan analisis produktivitas dan skala ekonomi.           
Model yang digunakan adalah model fungsi produksi translog dengan variabel tak bebas (dependent) pembiayaan dan variabel bebas (independent) modal, tenaga kerja, dan dana pihak ketiga. Model translog yang diestimasi terdiri dari 4 kriteria model, yaitu model translog lengkap, model translog tanpa fungsi kuadratik, model translog tanpa interaksi antar faktor, dan model translog constant elasticity of substitution (CES). Pemilihan model yang terbaik pada fungsi produksi translog dilakukan melalui uji statistik, sehingga model yang terbaik digunakan untuk merefleksikan nilai elastisitas output dan returns to scale.  
Hasil dari penelitian ini adalah : (1) Model yang terpilih adalah model constant elasticity of substitution. (2) Variabel input dana pihak ketiga memiliki nilai produktivitas yang terbesar dibandingkan dengan variabel modal dan tenaga kerja. (3) Dalam periode penelitian, kondisi diseconomies of scale terjadi pada Bank Umum Syariah, yang berarti Bank Umum Syariah belum mampu menghasilkan output pembiayaan yang meningkat dengan biaya produksi yang lebih murah.   

1.         Pendahuluan

Pengetahuan tentang efisiensi perbankan setidaknya memiliki beberapa alasan utama : Pertama ; bank selaku intermediasi keuangan merupakan pemain penting dalam ekonomi modern, baik itu dalam pelayanan jasa keuangan maupun sebagai pemberdaya tenaga kerja. Sistem perbankan memiliki peranan sebagai penyalur (penengah) antara penyimpan (saver) dan peminjam (investor), pelayanan jasa keuangan perdagangan dan....

ingin versi lengkapnya? silahkan ke :
DVD skripsi MURAH 

Sunday, May 22, 2011

Teori Permintaan Agregat dalam Perekonomian Terbuka

Teori Permintaan Agregat dalam Perekonomian Terbuka
Dalam bab sebelumnya telah dibahas teori Klasik tentang pasar barang yang menyatakan bahwa output atau income hanya ditentukan oleh faktor ril dan tidak bisa dipengaruhi oleh pemerintah melalui rekayasa permintaan, seperti pengeluaran pemerintah, pengeluaran konsumsi masyarakat, investasi, ataupun supply uang. Pada bab 5 ini kita akan lihat teori makro Keynes sebagai lanjutan dari uraian sebelumnya pada bab 4. Keynes menyatakan bahwa output dapat dipengaruhi oleh pengeluaran aggregate (aggregate sepending) dan pengeluaran aggregate itu sendiri dapat dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintah. Output dan pengeluaran agregat dapat saling mempengaruhi secara timbal balik. Semakin tinggi output atau income maka semakin tinggi pula pengeluaran atau belanja agregat sehingga permintaan aggregate akan semakin tinggi pula. Sebaliknya bila pengeluaran aggregate tinggi (artinya aggregate demand juga tinggi) maka output juga tinggi sebagai respon dari produsen yang menaikan output untuk memenuhi permintaan aggregate. Output yang tinggi akan mengakibatkan income juga tinggi.
Tingginya income tidak lain berarti tinginya pertumbuhan ekonomi, sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang termasuk pengambil kebijakan (pemerintah) karena akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme aggregate demand dalam menentukan output atau income tersebut?
Dalam bab ini kita akan pelajari lebih lanjut tentang aggregate demand menurut teori Keynesian, yaitu hubungan antara Agregate Demand (pengeluaran aggregate) dengan pendapatan atau output. Komponen aggregate demand tersebut, seperti yang telah disingung pada bab 2, adalah yaitu konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan perdagangan luar negeri (NX). Keempat komponen ini merupakan faktor yang menentukan besarnya output atau income. Dalam bentuk persamaan dapat ditulis sebagai berikut:
AD = C + I + G + NX (5.1)
Dalam keadaan seimbang (equilibrium) maka AD harus sama dengan income atau output:
AD = Y = C + I + G + NX
Bila salah satu komponen aggregate demand berubah maka akan terjadi suatu ketidak seimbangan. Misalnya, pengeluaran agregat yang direncanakan lebih besar dari output maka akan terjadi kekurangan output atau produksi, sebaliknya bila rencana pengeluaran agregat lebih kecil dari output maka akan terjadi kelebihan produksi sehingga persediaan barang (inventory) akan menumpuk. Pada periode berikutnya produsen akan melakukan penyesuaian dengan menambah atau mengurangi output sesuai dengan permintaan agregat. Pada akhirnya akan keseimbangan akan kembali terjadi. Pertumbuhan ekonomi pada pokoknya adalah pergerakan titik keseimbangan dari satu titik ke titik yang lain yang lebih tinggi. Dan sebelum titik keseimbangan tercapai selalu terjadi proses ketidak seimbangan menuju titik keseimbangan yang baru dan lebih tinggi atau lebih rendah dari titik sebelumnya.
Dalam uraian ini kita mengasumsikan bahwa harga adalah konstan atau tidak berubah. Ini juga berarti semua variable adalah diasumsikan ril dan tidak ada inflasi. Pada bab 8 asumsi ini akan didrop ketika membicarakan pengaruh harga terhadap output.
5.1 Konsumsi
Konsumsi merupakan komponen AD yang penting karena pengaruhnya sangat besar terhadap pembentukan output. Untuk sementara kita anggap ekonomi yang dibicarakan adalah ekonomi tertutup, tidak ada perdagangan luar negeri sehingga AD sama dengan konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah.
Seperti disebutkan pada Bab 2 output sama dengan income karena proses produksi pada hakekatnya menghasilkan barang dan jasa yang akan dibeli oleh rumah tangga berupa aggregate demand. Disamping itu proses produksi juga menghasilkan imbalan terhadap faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi. Tenaga kerja misalnya yang dipakai dalam proses produksi akan mendapatkan imbalan berupa upah yang selanjutnya akan menjadi pendapatan bagi tenaga kerja tersebut. Selanjutnya pendapatan ini akan menimbulkan permintaan aggregate dalam ekonomi atau konsmsi rumah tangga. Tetapi dari pendapatan tersebut tidak seluruhnya dipakai untuk konsumsi. Sebagian dari pendapatan tersebut ada yang disimpan dalambentuk tabungan atau saving (S). Dengan demikian penggunaan pendapatan tersebut hanya ada dua yaitu untuk konsumsi (C ) dan menabung (S), atau,
Y = C + S
Persentase yang dibelanjakan dan ditabung tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat. Pada negara maju biasanya persentase tabungan lebih tinggi dibanding dengan negara yang belum maju dimana pendapatan penduduknya rendah sehingga tabungan juga rendah.
Apa yang menentukan besarnya konsumsi? Konsumsi ditentukan oleh tingkat pendapatan, semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula belanja atau konsumsi. Selain itu besarnya konsumsi juga dipengaruhi oleh perilaku atau kecenderungan masyarakat. Ada masyarakat yang mengalokasikan konsumsi tinggi dan ada juga yang rendah. Kecenderungan ini disebut dengan Marginal Propesity to Consume (MPC), sedangkan kecenderungan untuk menabung disebut dengan Marginal Propesnsity to Save (MPS). Dalam bentuk persamaan dapat ditulis:
C = a + zY; a > 0
Konstanta a menunjukkan besarnya konsumsi bila pendapatan tidak ada atau konsumsi minimal. Hal in dapat terjadi dalam jangka pendek, misalnya orang yang menganggur, sementara belum dapat pekerjaan dia tetap melakukan konsumsi untuk bertahan hidup dengan cara menjual aset yang ada atau berhutang atau menerima sumbangan (transfer). Dalam jangka panjang tentu hal ini tidak bisa dipertahankan karena setiap orang harus menghasilkan (berproduksi) untuk dapat mengkonsumsi, sehingga dalam jangka panjang persamaan konsumsi adalah C = zY. Fungsi konsumsi seperti persamaan (5.3) diatas dapat diplotkan pada sebuah grafik fungsi konsumsi .
Koefiseien z adalah besarnya alokasi atau kecenderungan untuk konsumsi dari disposable income yang disebut dengan MPC. Definisi MPC adalah besarnya perubahan konsumsi akibat perubahan satu unit income, atau dengan persamaan;
MPC atau z mempunyai nilai diantara nol sampai dengan 1, tidak kecil dari nol dan tidak besar dari satu. Sesuai dengan persamaan (5.3) maka persentase alokasi untuk konsumsi dan saving adalah 100 % atau kofisien saving dan konsumsi adalah 1. Ini berarti alokasi pendapatan untuk tabungan adalah sebesar (1-z). Bila koefisien z = 0,8 maka kofisien tabungan adalah 0,2. Bila persamaan (5.3) dan (5.4) digabung maka akan dapat persamaam untuk tabungan (S):

Y = C + S
= a + zY + S
S = Y – a – zY
S = - a + (1-z) Y (5.6)
Koefisien (1-z) disebut dengan kecenderungan untuk menabung atau Marginal Propensity to Save (MPS). Persamaan (5.6) menunjukkan bahwa tabungan tergantung dengan pendapatan dan MPS. Perhatikan bila income nol maka tabungan adalah negatif (terangkan apa artinya dan kenapa?). Sama seperti MPC maka rumus MPS adalah;
MPC ditambah dengan MPS mesti berjumlah 1 sebagai konsekuensi dari persamaan budget constraint Y = C + S diatas.


5.2 Investasi
Investasi adalah pengeluaran oleh swasta untuk pembelian barang-barang dan jasa yang akan dipakai dalam proses produksi atau dengan kata lain sama dengan permintaan oleh swasta terhadap barang dan jasa (input) yang diperlukan untuk investasi produktif. Faktor yang menentukan pengeluaran investasi berbeda dengan konsumsi. Perbedaanya terletak dalam hal tujuan membeli barang, yaitu untuk invesatasi dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan sedangkan konsumsi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Perbedaan lain adalah sumber pembiayaan untuk investasi dapat berasal dari berbagai sumber pembiayaan dan keuangan dimana jumlahnya tidak tergantung dari kondisi keuangan sekarang tetapi pada harapan kondisi keuangan dimasa mendatang. Pembiayaan konsumsi rumah tangga berasal berasal dari pendapatan sekarang. Jadi pengeluaran investasi jumlahnya bisa jauh melebihi jumlah pendapatan sekarang, jadi tidak tergantung dengan income. Apa yang menentukan besarnya investasi dalam masyarakat?
Faktor yang menentukan pengeluaran investasi ada dua yaitu harapan keuntungan (expectation of future profit) yang akan diperoleh dimasa mendatang dan biaya dari uang yang harus ditanggung akibat pengeluaran uang tersebut. Harapan keuntungan tersebut biasanya dinyatakan dalam persentase keuntungan per satuan waktu dan biaya penggunaan dana dinyatakan dalam persentase atau disebut tingkat bunga. Sebuah investasi akan dilakukan apabila harapan keuntungan lebih besar dari biaya penggunaan dana atau tingkat bunga (interest rate). Semakin besar selisih kedua faktor ini maka semakin besar pula investasi yang akan dilakukan. Tingkat keuntungan yang diharapkan tersebut disebut dengan Marginal Efficiency of Capital (MEC). Semakin besar selisih antara MEC dengan tingakat bunga yang berlaku maka akan semakin besar pula volume investasi yang akan dilakukan. Secara grafik dapat dilihat seperti pada Gambar 5.2. Grafik MEC adalah negatif, berbanding terbalik dengan tingkat bunga yang berlaku. Semakin rendah bunga yang berlaku maka semakin besar pula harapan keuntungan sehingga investasi juga semakin besar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi tersebut dapat juga dinyatakan secara matematis sebagai berikut:
I = K – bi b > 0 (5.8)


            K adalah investasi yang otonom atau exogenous, i adalah tingkat bunga dan b adalah koefisien yang menunjukkan seberapa sensitive investasi tersebut terhadap perubahan tingkat bunga. Sesuai dengan grafik 5.2 diatas maka koefisien b adalah bertanda negatif yang berarti semakin rendah tingkat bunga maka semakin tinggi pengeluaran investasi karena semakin banyak proyek investasi yang layak untuk dilaksanakan.
Selain dari faktor bunga, dalam kenyataan sehari-hari investasi bukan hanya ditentukan oleh bunga tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor ekonomi yang lain dan bahkan juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik. Misalnya keamanan, kestabilan politik, kepastian hukum di suatu Negara berpengaruh sangat besar terhadap masuknya investor dari luar negeri.

Kaitan Investasi dan Tabungan
Bila dalam suatu ekonomi tidak ada pengeluaran pemerintah (berarti tidak ada pemerintah) dan tidak ada perdagangan luar negeri maka tabungan sama dengan investasi. Hal ini dapat dibuktikan dari persamaan Y = AD, bila kedua ruas persamaan dikurangi dengan konsumsi (C) maka diperoleh:
Y – C = AD – C
Y – C adalah saving (dari Y = C + S) dan AD – C adalah rencana investasi (dari AD = C + I). Ingat dalam hal ini tidak ada pengeluaran pemerintah (G) dan perdagangan luar negeri (NX), sehingga didapatkan I = S.
Kesimpulan ini dapat juga diturunkan dari grafik Gambar 5.3. Jarak antara garis konsumsi (C = a + zY) dengan garis (AD = D + zY) adalah sama dengan investasi (I) dan jarak antara garis konsumsi dengan garis 450 adalah saving (S) pada setiap titik income. Hanya pada titik E saving dan investasi sama besar yaitu sama-sama nol. Bila pendapatan berada diatas titik keseimbangan income Y0 maka pendapatan lebih tinggi dari pengeluaran agregat dan saving lebih besar dari investasi, sebaliknya bila pendapatan berada dibawah titik keseimbanganY0 maka pendapatan lebih kecil dari pengeluaran agregat dan saving menjadi lebih kecil dari investasi.


Belanja pemerintah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk pembelian barang dan jasa. Pengeluaran pemerintah ini tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tetapi tidak semua pengeluaran APBN dimasukaan kedalam pengeluaran pemerintah. Yang termasuk dalam pengeluaran pemerintah adalah belanja barang dan jasa pada tahun yang bersangkutan dan merupakan hasil proses produksi. Pembelian tanah atau pembayaran gaji pegawai tidak termasuk dalam kategori pengeluaran pemerintah karena tidak merupakan barang hasil proses produksi.
Faktor yang menentukan besarnya pengeluaran pemerintah tentunya adalah faktor ekonomi. Selain itu adalah faktor politik, sosial dan faktor-faktor strategis lainnya yang semuanya tergantung dengan pemerintah. Karena itu pengeluaran pemerintah ini sebagian besar ditentukan diluar kekuatan ekonomi pasar, dan karena itu disebut dengan “exogenous” artinya teori ekonomi tidak bisa menerangkannya.

5.4 Multiplier atau Faktor Pelipat
Setelah diketahui faktor yang mempengaruhi komponen aggregate demand maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mekanisme komponen AD tersebut mempengaruhi output atau pendapatan. Hal ini dapat dijelaskan melalui konsep multiplier. Sebelum diterangkan lebih lanjut maka ada beberapa asumsi yang harus dibuat, yaitu,
Sekarang kita mulai analisis dengan sebuah contoh berikut. Misalnya, bila pengeluaran aggregate dinaikan sebesar D maka berapa besar dampaknya terhadap output? Bila ada tambahan pengeluaran aggregate atau permintaan agregat sebesar D maka akan terjadi tambahan produksi sebesar D dan kenaikan output atau income sebesar D juga. Selanjutnya pengeluaran sebesar D tadi akan menjadi pendapatan bagi penjual yang menerima pengeluaran D. Oleh penjual ini uang sebesar D akan dibelanjakan lagi untuk memenuhi kebutuhannya tetapi tidak sebesar D. Besarnya pengeluaran pada putaran kedua ini adalah z∆ D yaitu sesuai dengan kecenderungan berbelanja mereka atau Marginal Propencity to Consume (MPC). Tambahan income yang tercipta adalah sebesar ∆D + z∆D atau (1+z) ∆D. Demikianlah seterusnya akan terjadi pelipatan dampak secara berantai melalui putaran pengeluaran antara konsumen dan penjual atau produsen. Dampak akhir dari tambahan pengeluaran sebesar ∆D adalah sebesar 1/(1-z) kali ∆D yang merupakan penjumlahan dari semua tambahan income pada setiap putaran (Tabel 5.1).

Dari uraian diatas dapat ditulis bahwa total tambahan income adalah sebagai berikut:
∆ AD = = ∆ Y0 (5.8)
Dimana = α = multiplier. Atau dapat juga ditulis :

Bila pengeluaran naik sebesar 100 juta dan MPC adalah 0.8, berapa tambahan pendapatan akibat tambahan pengeluaran tersebut? Dengan memasukkan angka diatas maka didapat tambahan pendapatan ∆Y = 1/(1-0,8) kali 100 = 500 juta. Berarti multipliernya adalah sebesar 5 kali lipat. Multiplier didefinisikan sebagai besarnya kelipatan perubahan output akibat perubahan satu unit pengeluaran (C, I, G).
Formula multiplier ini dapat diturunkan dengan cara lain. Besarnya setiap perubahan output yang terjadi harus sama dengan besarnya perubahan aggregate demand sehingga,

∆ Y0 = ∆ AD. (5.9)
Tambahan pengeluaran (∆AD) sama dengan tambahan pengeluaran putaran pertama ∆D ditambah dengan pengeluaran yang disebabkan oleh pelipatan (multiplier), c∆Y0 sehingga
∆ AD = ∆ D + c∆Y0 (5.10)
Gabungan persamaan (5.9) dengan (5.10) didapatkan persamaan,
∆ Y0 = ∆ D + c∆Y0
c∆ Y0 = (5.11)
Atau multiplier dapat juga diturunkan dari persamaan konsumsi dan agregat demand seperti dibawah ini.
Y = AD = C + I + G
Substitusikan fungsi konsumsi kedalam persamaan diatas.
Y = a + I + G + cY (5.12)
Kumpulkan faktor Y dan autonomous spending sehingga:
Y – cY = D
Y = D
Proses dari pelipatan income atau multiplier ini dapat digambarkan secara grafis pada Gambar 5.3.
Pada awalnya titik keseimbangan adalah pada titik E0 dengan pendapatan OY0 dan pengeluaran agregat OAD0. Kemudian sektor bisnis melihat ada prospek untuk meraih keuntungan dimasa yang akan datang sehingga mereka menambah investasi sebesar ∆D (dapat berupa ∆I). Misalkan tambahan investasi ini meningkatkan AD pada putaran pertama sebesar AE0. Penambahan AD ini langsung menjadi tambahan pendapatan bagi penjual barang input yang dibeli oleh investor, yaitu sebesar AB dan selanjutnya direspon oleh produsen dengan manaikan output dengan jumlah yang sama. Pada putaran kedua tambahan output atau pendapatan kembali dibelanjakan sesuai dengan MPC yaitu sebesar cAB = BC. Pengeluaran tambahan AD ini kembali menaikan pendapatan dan direspon oleh produsen dengan menaikan output sehingga akhirnya proses ini berhenti pada titik E1 dengan tingkat pengeluaran yang lebih tinggi dari semula yaitu, yaitu AD0 AD1.dan pendapatan juga lebih tinggi yaitu sebesar 1/(1-c) kali lipat dari ∆D atau Y0Y1.
Secara geometric MPC adalah slope atau kemiringan dari kurva kosumsi. Karena kurva Consumsi menurut persamaan (5.4) adalah C = a + cY, maka MPC adalah koefisien c, yaitu sama dengan = .

Dari uraian diatasa ternyata besaran multiplier tergantung dengan besaran MPC atau koefisien c, yaitu proporsi dari income yang dibelanjakan oleh konsumen untuk keperluan konsumsi. Semakin besar proporsi income yang dibelanjakan maka semakin besar pula multiplier dan semakin besar pula dampaknya terhadap kenaikan income atau output. Tetapi harus diingat bahwa proses ini hanya bisa berlangsung dalam waktu pendek. Dalam jangka panjang hal ini tidak bisa berlanjut karena income tidak bisa ditopang oleh konsumsi yang tinggi saja karena konsumsi juga teragantung dari income, sedangkan income / output juga ditentukan oleh faktor ril seperti investasi disamping konsumsi, pengeluaran pemerintah dan net export.
Secara empiris hal tersebut diatas adalah benar bahwa konsumsi dalam jangka pendek bisa mendorong pertumbuhan ekonomi karena ekonomi belum mencapai full employement. Misalnya masih banyak pabrik yang belum bekerja penuh, tenaga kerja banyak yang menganggur, dan seterusnya sehingga output masih bisa didorong tumbuh tanpa investasi baru. Tetapi untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, artinya setelah ekonomi mencapai full employement, maka diperlukan investasi baru untuk berlanjutnya pertumbuhan ekonomi.

5.5 Peranan Pemerintah dan Multiplier Pajak
Pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh konsumen biasanya adalah pendapatan yang telah dipotong pajak oleh pemerintah. Ini berarti pengeluaran berkurang sehingga dampak multiplier juga berkurang. Sebaliknya pemerintah juga dapat menambah pendapatan masyarakat secara langsung dengan memberikan subsidi (income transfer) kepada anggota masyarakat sehingga kemampuan multiplier menjadi besar. Bagaimana bentuk multiplier kalau pendapatan yang dipakai adalah disposable income atau adanya transfer income kepada anggota masyarakat? Akibat pajak pendapatan dan transfer income fungsi konsumsi akan berobah menjadi:
C = a + c(Y-T) + Tr Besarnya pajak tergantung dengan besarnya pendapatan, sehingga T = tY, dan income transfer diasumsikan autonomous, artinya tidak tergantung dengan apapun kecuali sepenuhnya tergantung dengan pertimbangan pemerintah. Persamaan konsumsi menjadi sebagai berikut.
C = a + c(Y – tT) + Tr
C = a + cY – ctY + Tr
C = a + c (1- t) Y + Tr
Substitusikan ke dalam persamaan Y = AD = C + I + G, untuk ekonomi tertutup, sehingga menjadi:
Y = a + c(1 – t) Y + Tr + I + G (5.13)
Pengeluaran independent (autonomous spending) dikumpulkan menjadi satu,
D = a + I + G + Tr
Y = D + c(1 – t)Y
Y = D + c(1 – t) Y
Y (1 – c(1 – t) = D
Y = D (5.13)
Dari persamaan diatas αG = disebut multiplier dengan pajak pendapatan, sedangkan (1 - c(1 - t) adalah MPC dari disposable income dimana (1 – t) adalah bagian dari income yang tersisa setelah membayar pajak.
Ternyata pajak pendapatan mengurangi kemampuan multiplier karena sebagian dari income yang seharusnya dapat dibelanjakan dikeluarkan untuk membayar pajak sehihgga tambahan output yang dihasilkan dari tambahan pengeluaran menjadi lebih kecil. Secara grafis dampak dari intervensi pemerintah terhadap pengeluaran agregat dapat dilihat pada Gambar 5.5. Jadi pemerintah dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui tiga cara, yaitu: melalui pengeluaran pemerintah (G), melalui pajak (T) dan melalui income transfer (Tr).


5.6 Net Export
Komponen terakhir dari agregat demand adalah net export. Alasan memakai net export telah dibahas pada Bab 2. Faktor yang mempengaruhi export antara lain adalah pendapatan negara yang mengimport, semakintinggi pendapatan mereka maka semakin tinggi juga kecenderungan mereka mengimport sehingga export menjadi tinggi. Bila terjadi resesi di negara Amerika Utara, Jepang atau Eropa maka biasanya export dari Indonesia akan menurun. Faktor lain yang mempengaruhi adalah nilai tukar Rupiah dan biaya produksi dalam negeri. Bila nilai rupiah menjadi turun maka barang export akan menjadi murah sehingga export meningkat. Biaya produksi mempengaruhi daya saing produk export, semakin murah biaya produksi maka semakin bersaing produk tersebut di pasar international.



5.7 Keseimbangan Pasar Barang
Permintaan Agregat atau agregat demand (AD) yang telah dibicarakan diatas merupakan salah satu sisi dari pasar barang dan jasa. Sisi lainnya adalah penawaran agregat (AS). Dalam uraian diatas kita telah bahas bahwa permintaan agregat ditentukan oleh empat komponen yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan net export. Masing komponen AD ini kemudian mempengaruhi besarnya output yang akan dihasilkan oleh ekonomi melalui proses multiplier. Hubungan antara AD dan output (income) digambarkan pada grafik yang berhubungan positif, artinya penambahan output atau income berbanding lurus dengan penambahan AD atau komponennya. Harus diingat bahwa dalam uraian tersebut dampak penambahan AD terhadap harga adalah konstan, artinya harga diasumsikan tidak berobah walaupun permintaan naik (AD naik). Pada uraian selanjutnya asumsi ini akan dirobah dimana penambahan AD akan langsung mempengaruhi harga sehingga akan menimbulkan inflasi dan seterusnya.
Dalam uraian berikut ini AD akan dibahas dari sisi hubungannya dengan harga. Hubungan AD dengan harga adalah negatif bukan lagi positif seperti hubungan AD dengan output (Y). Dalam ekonomi mikro hubungan permintaan dan harga komoditi adalah negatif. AD didefinisikan sebagai hubungan antara pengeluaran atas barang dan jasa dengan tingkat harga umum.
Penawaran agregat (AS) merupakan penjumlahan horizontal dari semua penawaran unit-unit yang ada dalam perekonomian negara sehingga membentuk penawaran agregat. Jadi kurva AS sama seperti kurva marginal cost, menaik sesuai dengan semakin tingginya harga barang dan jasa. Jadi hubungan harga dengan barang adalah positif seperti halnya pada kasus ekonomi mikro. AS didefinisikan sebagai hubungan antara jumlah output yang diproduksi dan tingkat harga umum. Interaksi antara AD dan AS akan menentukan tingkat tingkat harga dan jumlah barang dan jasa yang akan ditawarkan di pasar barang.
Bentuk kurva AS adalah seperti pada Gambar 5.5, mula-mula mendatar kemudian menaik. Kurva AS ini dapat dilihat tiga bagian yaitu daerah mendatar, daerah menanjak dan daerah vertikal. Daerah mendatar (A sampai B) adalah daerah dimana kenaikan AD tidak menyebabkan harga naik, karena ekonomi masih belum full employment atau belum bekerja penuh. Masih banyak pabrik yang belum beroperasi dengan kapasitas penuh atau masih banyak tenaga kerja yang menganggur. Bila AD dinaikan maka produsen akan merespon menambah output, dengan menambah input , merekrut tenaga kerja yang masih menganggur, meningkatkan kapasitas produksi, dan lain-lain. Penambahan output ini tidak menimbulkan kenaikan harga karena ekonomi belum full employment. Pada daerah BM kenaikan AD mulai mempengaruhi tingkat harga umum. Karena ekonomi sudah mendekati full employment maka menaikan permintaaan akan mengakibatkan harga naik sehingga menimbulkan inflasi. Hal ini karena kenaikan permintaan tidak bisa diimbangi secara penuh oleh kenaikan output sehingga terjadi rationalisasi. Pada daerah M kekanan output tidak bisa lagi dinaikan karena ekonomi sudah sangat ketat, kenaikan permintaan akan diikuti oleh kenaikan harga barang dan jasa untuk merasionalisasi konsumen yang sanggup membayar dengan harga mahal. Keseimbangan di pasar barang terjadi bila kurva AD dan AS berpotongan pada satu titik setelah mengalamai berbagai proses penyesuaian melalui multiplier.




5.8 Keseimbangan Pasar Barang, Tenaga kerja dan Uang
Sekarang kita lihat keterkaitan antara ketiga pasar yang telah dipelajari yaitu pasar barang, pasar tenaga kerja dan pasar uang serta variable ekonomi makro lainnya. Salah satu inti teori Keynesian adalah bahwa pasar barang, pasar uang dan pasar tenaga kerja saling terkait satu sama lain. Perubahan atau ketidak seimbangan pada salah satu pasar akan berpengaruh terhadap pasar yang lain. Dan pasar baru dikatakan seimbang apabila semua pasar tidak lagi mengalami perubahan atau ketidakseimbangan. Perhatikan Gambar 5.7.
Dari ketiga pasar tersebut maka pasar barang dan pasar uang lebih dominan mempengaruhi output, sedangkan pasar tenaga kerja lebih banyak mengikuti perkembangan dua pasar lainnya, terutama pasar barang. Bial output bertambah maka permintaan terhadap tenaga kerja akan ikut bertambah karena diperlukan dalam proses produksi. Ini adalah pandangan demand side economy. Tetapi menurut pandangan supply side economy, pasar tenaga kerja justru memegang peranan penting dalam mempengaruhi output dan income, karena output tidak mungkin naik tanpa adanya penambahan faktor produksi ril. Karena itu menambah output harus menambah tenaga kerja dan faktor-faktor lainnya. Pandangan ini lebih banyak condong ke pandangan teori makro klasik.

Friday, May 20, 2011

Kongres PSSI RICUH DAN MEMALUKAN

Gw baru saja liat tu pengurus-pengurus yang ga punya malu. Mereka memaksakan kehendak masing-masing. Pasti anda sudah lihat tadi, dimana KONGRES PSSI RICUH dan sangat-sangat tidak kondusif.
Sebenarnya apa yang mereka perjuangkan?? mementingkan sekelompok orang apa kemajuan persepakbolaan Indonesia??

Ga habis pikir saya melihatnya. Malu sebagai bangsa yang saya kira besar, ternyata sangat KAMPUNGAN mengurus SEPAK BOLA.

Saturday, May 14, 2011

Pengaruh Biaya Promosi Terhadap Volume Penjualan

Latar Belakang Masalah

Era globalisasi telah menuntut adanya perubahan paradigma lama dalam segala bidang, salah satunya adalah bidang pemasaran. Semakin tingginya tingkat persaingan di bisnis lokal maupun global dan kondisi ketidakpastian memaksa perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif agar mampu memenangkan persaingan di bisnis global..

Pesaing yang dihadapi sebuah industri tidak lagi datang dari kawasan atau wilayah geografis setempat, tetapi raksasa global dari mancanegara hadir untuk saling berebut pasar. Setiap industri mengalami globalisasi yang dipicu oleh 4 faktor utama yaitu Cutomers, Cost, Country, dan Competition.
Pada saat ini banyak bermunculan perusahaan – perusahaan yang beragam bentuk usahanya, yang menandakan bahwa dunia usaha semakin maju. Dalam mengembangkan usahanya suatu perusahaan harus juga memperhatikan unsur – unsur penting dalam manajemen pemasaran yang terdiri dari produk, harga, distribusi, dan promosi.

Pemasaran umumnya dilihat sebagai tugas menciptakan, mempromosikan, serta menyerahkan barang dan jasa kepada konsumen. Pemasaran merupakan inti dari seluruh aktivitas bisnis, karena pemasaran merupakan penghubung antara perusahaan dan konsumenPromosi merupakan salah satu variabel dari bauran pemasaran yang sangat penting, yang dilaksanakan oleh perusahaan, dalam memasarkan produk atau jasanya. Tanpa promosi keberadaan produk kurang mendapat perhatian dari konsumen atau bahkan konsumen tidak tahu sama sekali mengenai produk tersebut.

Pada umumnya perusahaan akan selalu berusaha untuk tetap berkembang serta mampu bersaing untuk mencapai tujuan perusahaan. Agar tujuan perusahaan dapat tercapai diperlukan strategi promosi yang efektif. Kegiatan promosi yang dilakukan oleh suatu perusahaan tentu saja memerlukan anggaran yang cukup memadai agar tujuan yang ingin dicapai yaitu meningkatkan penjualan dapat tercapai. Sasaran promosi dapat tercapai apabila perusahaan menganggarkan biaya promosi yang memadai, dan dengan adanya biaya promosi yang memadai diharapkan dapat membantu perusahaan dalam memasarkan produknya.
Berdasarkan gambaran umum permasalahan di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah biaya promosi yang dikaitan dengan penjualan dengan mengambil judul penelitian “Pengaruh Biaya Promosi Terhadap Volume Penjualan Genteng Pada PT. Genteng Maher Perdana Jatiwangi Cirebon Cabang Sukabumi

ingin versi lengkapnya, silahkan kunjungi lapak jualan ane disini 

Sunday, May 8, 2011

PASANG SURUT PERKEMBANGAN KOPERASI DI DUNIA DAN INDONESIA

PASANG SURUT PERKEMBANGAN KOPERASI
DI DUNIA DAN INDONESIA
Oleh : Noer Soetrisno

Latar Belakang


1. Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.

2. Pada saat ini dengan globalisasi dan runtuhnya perekonomian sosialis di Eropa Timur serta terbukanya Afrika, maka gerakan koperasi di dunia telah mencapai suatu status yang menyatu di seluruh dunia. Dimasa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok politik/ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering dengan pengertian berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan koperasi belum mendapat kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya Revolusi ILO-127 tahun 1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan dengan tekanan pada saat itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana promosi kesejahteraan masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental dengan sebutan kaum buruh. Sehingga syarat yang ditekankan bagi keanggotaan koperasi adalah “Kemampuan untuk memanfaatkan jasa koperasi”. Dalam hal ini resolusi tersebut telah mendorong tumbuhnya program-program pengembangan koperasi yang lebih sistematis dan digalang secara internasional.

3. Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres ICA di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan agar koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut “established for last”.

4. Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi di Manchester Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi. Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang globalisasi dan liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh gerakan koperasi dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi sebagai “enterprise” dicantumkan secara eksplisit. Dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah koperasi lembaga bisnis atau lembaga “quasi-sosial”. Dan sejak itu semangat untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai sistim ekonomi yang semula tertutup kini terbuka.
Catatan awal : “Dari sini dapat ditarik catatan bahwa koperasi berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi perdagangan bukan musuh koperasi”.

5. Di kawasan Asia Pasifik hal serupa ini juga terjadi sehingga pada tahun 1990 diadakan Konferensi Pertama Para Menteri-Menteri yang bertanggung jawab dibidang koperasi di Sydney, Australia. Pertemuan ini adalah kejadian kali pertama untuk menjembatani aspirasi gerakan koperasi yang dimotori oleh ICA-Regional Office of The Asian dan Pacific dengan pemerintah. Pertemuan ini telah melicinkan jalan bagi komunikasi dua arah dan menjadi pertemuan regional yang reguler setelah Konferensi ke II di Jakarta pada tahun 1992. Pesan Jakarta yang terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan koperasi terjadi karena kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi, namun harus diingat program bersama tidak harus mematikan inisiatif dan kemurnian koperasi. Pesan kedua adalah kerjasama antara koperasi dan swasta (secara khusus disebut penjualan saham kepada koperasi) boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan erosi pada prinsip dan nilai dasar koperasi.
Pengalaman Koperasi Di Indonesia

6. Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.

7. Selama ini “koperasi” di¬kem¬bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar ba¬gi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pem¬bangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang se¬lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pem¬bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).

Pengalaman Umum Kemajuan Koperasi : Mencari Determinan

8. Sejarah kelahiran koperasi di dunia yang melahirkan model-model keberhasilan umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti yang terjadi di Perancis dan Belanda kemudian produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun ketika koperasi-koperasi tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan bahwa pendapatan anggota yang digambarkan oleh masyarakat pada umumnya telah melewati garis kemiskinan. Contoh pada saat Revolusi Industri pendapatan/anggota di Inggris sudah berada pada sekitar US$ 500,- atau di Denmark pada saat revolusi pendidikan dimulai pendapatan per kapita di Denmark berada pada kisaran US$ 350,-. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen mampu menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
Syarat 1 : "Skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi".

9. Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit.
Syarat 2 : "Harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi".

10. Di manapun baik di negara berkembang maupun di negara maju kita selalu disuguhkan contoh koperasi yang berhasil, namun ada kesamaan universal yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu, selalu menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara spesial terdapat contoh yang lain seperti produsen gandum di daratan Australia, produsen kedele di Amerika Utara dan Selatan hingga petani tebu di India yang menyamai kartel produsen. Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di negara maju dan berkembang nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.

Syarat 3 : "Posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi".

11. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, transparansi struktural tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara rill telah naik ketika pengangguran meluas sehingga terjadi Lompatan ke sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal (Oshima, 1982). Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama disektor perdagangan seperti warung dan pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.

12. Koperasi selain sebagai organisasi ekonomi juga merupakan organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang oleh tingkat pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol sosial yang menjadi syarat berlangsungnya pengawasan oleh anggota koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi juga didasari oleh tingkat perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana diperlukan koperasi. Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan karena rata-rata pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan teknologi informasi telah turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.
Syarat 4 : “Pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)”.

Potret Koperasi Indonesia

13. Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.

14. Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter¬sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan (Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD (Revolusi penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).

15. Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

16. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini berkembang jasa lainnya.

17. Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.

Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah

18. Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan mem¬berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum¬ber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun kope¬rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif de¬ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves¬tasi dan skala kegiatan koperasi. Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo¬kasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa¬da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung¬si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.

19. Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.

20. Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha¬dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre¬dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demi¬kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae¬rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah dalam bentuk patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi pengem¬bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me¬num¬buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope¬rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.

21. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem¬bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat¬nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo¬rong pengem¬bang¬an lembaga penjamin kredit di daerah.

22. Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat). Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional.

Penutup

23. Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia.

24. Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.



DAFTAR BACAAN

1. Couture, M-F, D. Faber, M. Larim, A-B. Nippierd : Transition to Cooperative Entrepreneurship, ILO and University of Nyeurode, of Nyenrode, Genewa, 2002.

2. Ravi Shankar and Garry Conan : Second Critical Study on Cooperative Legislation and policy Reform, ICA, RAPA, New Delhi, 2002.

3. Mubyarto ; Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000.

4. Noer Soetrisno : Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat, Instrans, Jakarta 2001.

5. Oshima, Harry T ; The Development of Service Sector in Asia; Mimeo, UPSE-Diliman, Philippines, June 1982.

6. Rusidi, Prof. Dr. Ir. MS dan Maman Suratman, Drs. MSi : Bunga Rampai 20 Pokok Pemikiran Tentang Koperasi, Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Bandung, 2002.
 
Copyright © tukang blog
Designer : belajar internet